Kamis, 12 November 2015
Minggu, 08 November 2015
Saying NO!
Setiap tulisan
di bawah ini adalah murni dari hasil pemikiran sendiri, jika anda merasa ada manfaat
dari artikel ini, anda bisa mengambil hikmahnyam dan untuk menyempurnahkan
artikel ini, saya sebagai penulis dengan lapang hati menerima setiap kritikan
yang bersifat membangun. So, give your comment below!
T I D A K !!!
(image source: https://sheroes.in/img/uploads/article/high_res/say-no_prajakt_august.png)
Terkadang ada
hal yang paling sulit untuk kita ucapkan, entah itu dalam keadaan senang bahkan
hal yang paling membuat emosi dan bahkan menyakiti hati sekalipun. Apalagi
kalau kata tersebut kita lontarkan kepada orang yang sudah kita kenal seperti
orangtua, saudara atau bahkan sahabat terdekat sekalipun.
Dalam artikel
kali ini, saya ingin membahas mengenai kata “tidak” yang umumnya telah lazim kita
gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut http://artikata.com/arti-354539-tidak.html,
kata “tidak” (kata sifat/adjective) adalah partikel untuk menyatakan pengingkaran,
penolakan, penyangkalan, dsb. Kata "tidak" ini seringkali
dipakai untuk menyangkal atau menyanggah apa yang dikatakan orang terhadap kita
yang notabene nya adalah tidak benar dan tak sesuai dengan kenyataan, kata “tidak”
juga acapkali kita gunakan untuk menolak tawaran entah berupa tawaran traktiran
makan, traktiran ngopi dari sahabat atau lain sebagainya.
Tau kah anda
kalau kata “tidak” tersebut juga berdampak sangat buruk bagi gangguan kejiwaan
apabila tidak atau belom sempat kita ucapkan untuk menyampaikan maksud dan
tujuan kita untuk menyangkal apa yang dikatakan orang lain kepada diri kita,
atau menolak tawaran yang menggiurkan dari sahabat kita.
Saying
“NO” loudly!
Seringkali
kita terjebak dalam friend-zone, bro-zone atau sister-zone dan lain sebagainya,
yang membuat kita sulit untuk mengucapkan kata “tidak” ini karena terhalang
berbagai faktor seperti malu hati atau merasa tidak enak untuk mengatakannya
dengan lantang. “Mean what you say and
say what you mean!” - Erik Fisher, Ph.D.
Berdasarkan
pengalaman pridadi saya, terkadang saya merasa sangat sulit untuk menghindari
situasi semacam ini. Namun saya belajar dari kutipan Erick Fisher untuk
menegaskan apa yang telah saya katakana dan berusaha agar terus mempertahankan
keputusan yang telah saya buat serta menghindari gangguan yang mengintervensi
keputusan saya. Setiap orang harus belajar untuk menghargai keputusan yang
dibuat oleh orang lain, selama keputusan yang kita buat sama sekali tidak
merugikan mereka atau bahkan merugikan sekalipun, ini adalah prinsip hidup yang
kita jalani masing-masing, konsekuensi dari keputusan yang telah kita buat akan
kita tanggung sendiri, jika memang dikemudia hari kita merasa menyesal karena
telah gagal mengambil keputusan, kita akan jadikan semuanya itu sebagai suatu
pelajaran berharga untuk tidak mengulanginya lagi.
Saying NO is not a crime!
Katakan
tidak untuk hal yang tak kita sukai adalah bukan suatu tindakan kriminal,
sebagai contoh anda adalah seorang yang bukan dikategorikan alcoholic atau
pecandu alkhohol, suatu saat anda berada dalam situasi sedang asik ngobrol
dengan teman-teman anda namun tanpa sadar teman anda memberikan segelas minuman
keras kepada anda, yang lintas dipikiran anda saat itu hanyalah have-fun semata
karena terbawa arus obrolan yang begitu menghanyutkan dan mengasikan, tentu
saja anda akan merasa “awkward”. Bila anda tergolong orang yang menghargai
pemberian orang lain, apa yang akan anda lakukan? Sementara sebagian atau
bahkan semua teman anda yang saat itu ikut nimburung dalam percakapan yang seru
itu juga menerima tawaran yang entah tanpa sadar, suka atau tidak suka tetapi
langsung saja meneguk minuman yang ditawarkan teman anda. Akankah anda sanggup
menerima kritikan atau “bully” atau bahkan disangka sombong oleh teman-teman
anda? Mungkin ini biasa-biasa saja, tapi tahukah anda bila setiap keputusan
punya dampak yang sangat berbeda-beda. Di sini saya tidak akan membahas jurus
untuk menangkis tawaran semacam itu, saya hanya ingin sedikit berbagi kalau
saja katakana “tidak” bukan merupakan suatu bentuk kejahatan, kenapa harus malu
untuk mencobanya?
Saying NO without explaining the
reason why!
Terkadang
saat kita dalam keadaan jenuh, bosan atau capek, kita tidak ingin terlalu
banyak berkomentar yang macam-macam tentang hal-hal tertentu yang nantinya
menggangu sistem saraf kita. Kita hanya butuh kopi dan musik yang menyegarkan
otak lalu katakana tidak begitu ditawarkan suatu kerjaan baru dari orang lain,
tentunya orang akan menanyakan why don’t you like it? But hey, I don’t have to
explain it to you! I just don’t like it and don’t wanna do it! Yes, sometimes
you need to do that such a kind of things in order to shut them up by not
giving the reason why because it’s not their business.
(Image source: http://www.womenshealthmag.com/sites/womenshealthmag.com/files/images/say-no.jpg)
Written by: @oldryronald
Rabu, 04 November 2015
Biar Saja, Abaikan Saja
Ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan lagi, adakah
sedikit harapan yang mungkin saja muncul seperti tunas-tunas daun muda yang
hijau di awal bulan November?
Jalan ini begitu panjang, kau pergi jauh dan berpaling
dariku sementara aku ingin pulang karena tak sanggup lagi menunggu di ujung
jalan dengan buncahan rindu yang kian menggunung. Sungguh! Kita sudah tak
sehaluan lagi.
Lalu di ujung langit sana ada mentari yang baru saja pamit
pulang pada langit sore, perlahan memasuki porosnya, menyisahkan kilauan jingga
yang begitu sedap dipandang, tapi apalah daya kalau hati sudah mati rasa? Sudah
tak bisa menikmatinya lagi, semuanya sudah tak seperti dulu lagi.
Mungkin bila di lain waktu nanti, dikala hujan mulai
menangis, membanjiri bumi dengan ganasnya, akan ku luapkan keluh kesah hati
yang begitu getir ini pada petir.
Sehari bertemu, berpisah berbulan-bulan, belom sempat ku
sampaikan maksud hati padamu tapi waktu begitu singkat seperti sambaran kilat
yang menyala-nyala dan tak bisa ditangkap oleh genggaman, dan lagi kesiapan
hati ini masih belom begitu mantap.
Walau kita tak lagi bersama namun aku masih punya hari
kemarin yang bisa untuk dikenang, meskipun kau sudah tak lagi ada dalam
genggaman, tak masalah. Setidaknya kau pernah mencerahkan sebagian hariku,
meskipun justru banyak kelabu yang kau letakan di langit hatiku.
Nanti bila kita bertemu lagi di lain hari, tak akan ku
ceritakan lagi apa yang telah ku alami, percuma saja mengadu padamu, sudah tak
sama lagi. Biarlah kau sendiri saja yang menerka-nerka maksud hatiku, dan bila
kau ingin mendengar ceritaku, hidangkanlah kopi di tempat biasanya kita saling
beradu argumen sambil mengadu satu sama lain, yang membuat canda dan gelak tawa
bersatu padu.
Aku, orang yang pernah kau abaikan ini, yang dengan lapang
dada menerima kenyataan ini, meskipun lebih pahit dari kopi yang tanpa gula
sekalipun, akan ku lakoni drama hidup ini dengan peran terbaiku, meskipun
tampaknya sulit untuk bernafas. Inilah hidup yang sebenarya, menutupi luka
dengan balutan yang indah dan berakting seolah-olah tak pernah ada yang
terjadi.
Terkadang, ingin ku akhiri saja semua ini, tapi rasanya
dunia ini tak adil bila harus ku rasakan sendiri sakitnya merindukanmu, namun
burung-burung malam di luar sana menyengir dan menyeringgai padaku seperti tak
sepakat dengan keputusanku tuk akhiri sinetron hidup ini, lantas mereka
berbisik pada desiran angin malam dan hujan yang baru mulai merintih, menuntutku
agar membalas semua yang telah kau lakukan padaku, namun otakku masih sangat
jenius untuk memilih dan memilah sekiranya apa yang akan ku perbuat, kemudian
lahirlah ide yang selama ini telahku kandung berbulan-bulan, untuk tetap
tersenyum dan mengabaikannya saja.
Senin, 02 November 2015
Kecewa
Subuh, dikala suara adzan subuh berkumandang, suaranya
bergema kemana-mana. Suara ayam berkotek berbalas-balasan, dan secangkir kopi
yang sudah dingin yang belom sempat ku seruput. Ah, irama lagu diplaylist
iPod-ku ini belom juga tuntas. Tersadar aku dari tidur yang lumayan pulas.
Hari baru sudah menyapa dengan hiruk-pikuk keramaian kota yang membuat suasana
menjadi makin penat. Belom lagi masalah kemarin yang belom diselesaikan, datang
lagi masalah baru. Dalam setengah sadar, ku bergumam dan mengutuk-ngutuk nasib
ini, andai saja begini, andai saja ku tak begitu, andai saja kalau dulu ku
tak.... (Plaaaak!) Bodoh amat, tak perlu lagi ku lanjutkan imajinasi liarku
yang tak bermanfaat ini, hanya buat kesal yang berujung sakit hati.
Kopi ku telah dingin, masa iya ku seruput lagi? Semut zaman
sekarang memangnya suka kopi ya? (Dalam hati ku bertanya) lantas kenapa kopi
pahitku dikerumunin banyak semut? Sepikirku tak ada sebutir gulapun yang ku
masukan di dalamnya. Ah sudahlah, mungkin semut juga ingin mengecap pahitnya
dunia ini.
Rasanya badan ini semua remuk dengan aktifitas semalam,
begadang yang tiada ujung pangkalnya, rutinitas yang sungguh terasa
membosankan. Selalu saja ada kata penyesalan di pagi hari tapi malah diulangi lagi di
malam berikutnya, begitu dan begitu saja perjalanan hidup ini.
Disuatu pagi yang lain, aku pernah bangun dan menyalakan
kompor, memanaskan air dan membuat secangkir kopi, namun kau tak ada di sana,
tak menjadi saksi betapa mesranya aku bercanda dengan kopi pagiku, mengecup
bibir cangkirnya perlahan-lahan, menyeruputnya dengan gairah dan hasrat yang
menggelora. Kamupun tak pernah tau kalau ada kenikmatan yang tak bisa
terjelaskan di meja tempat ku letakan kopi pagiku itu, dikala sebatang rokok ku
nyalakan dan ku hisap racun tembakaunya. Aku juga pernah terbaring lesuh,
lunglai dan linglung dan tanpamu, pagi itu begitu memiluhkan dan menyayat hati,
tapi alampun berbahasa, menyapaku lewat kicauan burung yang merdu, yang selalu
setia pada pagi, dan tak pernah beringkar janji pada sang fajar. Akupun berusaha
kuat menghadapi hidup dengan kesendirian ini. Bagiku, tak ada masalah jika
tanpa dirimu, entah dimana dirimu saat ini, aku terbaring diatas paku dan
pecahan beling yang kau sisahkan di atas ranjang, begitu sakit dan menikamku.
Apa bedanya tidur di atas pecahan beling dan paku bila tanpa mu? Ku rasa sama
saja, sama perihnya.
Pikiran ku seperti tanaman ubi jalar yang menjalar dan
bernalar, merambat kemana-mana seperti ular. Untuk siapa lagi ku lantunkan
sajak luhur ini selain pada sunyi? Atau biru langit dan dedaunan yang
berjatuhan di awal November? Untuk apa kesunyian mengikutiku? Kenapa daun di
akhir musim harus bergugguran? Apakah dia juga lelah menggantung seperti
harapan yang diberikan oleh hujan? Gugur, jatuh dan pupus di tanah kering.
Untuk apa langit biru menjadi kelabu? Begitu mengharu biru
bak kondisi yang ku alami sekarang ini. Malam berganti dengan cepat dan siang
pun demikian, dingin berganti panas secapat saat kau pergi dari hidupku. Ah,
masih banyak hal yang mengganjal dan belum terselesaikan dalam pikiranku ini,
hati masih belom bisa berdamai dengan kenyataan hidup.
Kali ini aku ingin sedikit berkisah tentang kecewa. Tak ada
seorangpun yang pernah luput dari rasa kecewa, sebagian orang bahkan sudah tak
meneteskan air matanya atau bahkan air matanya sudah mengering seperti sungai
yang kering dimusim kemarau yang berkepanjangan dan tak berunjung. Kalau saja
boleh ku ibaratkan kisahku seperti dalam dunia kuliah, saya sudah lulus dengan
predikat cum laude dari semuanya ini.
Pedih dan getir memang rasa kecewa ini.
Bila mana malam tiba dan bulan mulai perlahan merayap di
langit timur, aku seperti terbius oleh perasaan ini. Aku bahkan seperti
kehabisan udara, yang membuatku susah bernafas dan sesak menghimpit di dadah
dan darah mengalirkan kenangan-kenangan pahit itu lewat denyut nadi yang
berdebar tak karuan di jantungku. Kenyataan ini begitu pahit bahkan lebih dari
empedu.
Dalam kesunyian malam ku caritakan kisahku pada langit yang
tak berbintang, aku ingin pergi dan mengembara jauh menghapus rasa kecewa yang
kau telah sisahkan padaku, rasanya aku seperi terperangkap dalam jeratan yang
membuatku menjerit. Semakin ku coba lupakan janji manismu, semakin tak kuasa ku
kontrol emosi jiwa ini. Luka ini seperti luka segar yang kau siram perasan
jeruk nipis, perih dan tak bisa lagi ku jelaskan sakitnya.
Dulu kita sering bersama, bertukar kisah kasih, suka maupun
duka, berbagi canda tawa di meja saat kita letakan kopi kita di sana dan
bercerita seakan-akan kita melumpuhkan waktu bersama, namun sekarang semuanya
tinggal cerita belaka.
Kata orang biarlah waktu yang menyembukan luka, tapi entah
sampai kapan aku bisa sembuh dari sakit yang kau tinggalkan ini. "Orang
yang paling kau sayangi adalah orang yang paling bisa membuatmu kecewa",
ya! begitulah kata orang. Benar juga dengan perkataan mereka.
Di malam berikutnya aku ingin tidur lebih awal, mengindari
konflik hati yang terus berperang di batin, melawan semua kenangan bersamamu
dan berharap terbangun dari tidur dalam keadaan lupa ingatan.
Dulu phone cell ku pernah rusak karena terlalu banyak file
yang ku simpan, sebagian data mungkin penting namun sebagiannya hanya koleksi
lagu dan foto yang belom tentu ku putar dan ku lihat setiap hari, atau boleh
dikatakan tak begitu penting namun sayang sekali bila harus ku hapus semuanya.
Rasa penyesalan ku seperti demikian, kalau saja dulu ku tak terlalu serius
dalam hubungan, mungkin tak pernah ada kerusakan di pikiranku, tapi aku
bukanlah orang seperti itu, yang tak menghargai hubungan kita, lantas, dimana
lagi harus ku format semua memory yang pernah ku alami bersamamu? Saat melewati
lorong-lorong gelap tak berpenguni, menyusuri senja hingga menghabiskansecakir
cangkir kopi. Kopi yang ku seruput hanya tersisah ampasnya saja yang belom
sempat ku buang, yang terus simpan hingga akhirnya menggunung di hati, dan
sewaktu-waktu bisa meletus memuntahkan lahar pahitnya.
Aku mungkin terbatas dengan kata-kata untuk menyelaskan
semua yang telah kita lalui bersama tapi percayalah, aku tak pernah membencimu,
bahkan dari dasar hati yang masih tertimbun ampas kopi ini ku harus akui bahwa
sepahit apapun yang ku alami sekarang bila mana hati kita dulunya telah menjadi
satu, sebagiannya telah ku lalui dengan luka, seperti duri yang terlindung
dalam daging, terlihat utuh dari luar namun begerjolak dan teruk menusuk dari
dalam, sungguh menyiksa.
Bayangkan saja kalau cermin kau pecahkan, lalu kau coba tuk
memperbaikinya hanya ada bekas yang retak atau mungkin pohon yang kau tancapkan
paku bertubi-tubi lalu mencabutnya, hanya bekas luka saja yang kau temui.
Aku juga yakin kalau setelah kepergianmu, kamu juga
merasakan serupa dengan apa yang kurasakan, karena keberadaan kita sudah tak
utuh lagi. Mungkin kamu gengsi untuk mengungkapkannya atau bertegur sapa lagi
denganku, tapi percayalah kalau aku lebih tau dirimu yang sebenarnya. Jangan
pernah kau membohongi dirimu, semoga kelak kau bertemu dengan seseorang yang
akan membantumu, mambalut luka batinmu. Namun, untuk saat ini biarkan ku pergi
jauh dan jangan tanyakan kemana perginya, aku pergi untuk menyembuhkan luka
batinku sendiri atas semua rasa kecewa yang telah kau berikan padaku.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Hari berganti hari Waktu berkejar-kejaran Musim berganti-ganti Kemarau yang berkepanjangan Tetes airpun mulai membasahi bumi Huj...
-
Malam yang tenang, sunyi dan sepi Di bulan November yang penuh hujan Tetesan maupun dengan derasnya jatuh berguguran Bercucuran k...
-
Denyut nadi bergetar tiada henti dalam darah, waktu yang begitu cepat berubah tanpa bilang-bilang, aku merasakan sesuatu yang beda, sesua...