Subuh, dikala suara adzan subuh berkumandang, suaranya
bergema kemana-mana. Suara ayam berkotek berbalas-balasan, dan secangkir kopi
yang sudah dingin yang belom sempat ku seruput. Ah, irama lagu diplaylist
iPod-ku ini belom juga tuntas. Tersadar aku dari tidur yang lumayan pulas.
Hari baru sudah menyapa dengan hiruk-pikuk keramaian kota yang membuat suasana
menjadi makin penat. Belom lagi masalah kemarin yang belom diselesaikan, datang
lagi masalah baru. Dalam setengah sadar, ku bergumam dan mengutuk-ngutuk nasib
ini, andai saja begini, andai saja ku tak begitu, andai saja kalau dulu ku
tak.... (Plaaaak!) Bodoh amat, tak perlu lagi ku lanjutkan imajinasi liarku
yang tak bermanfaat ini, hanya buat kesal yang berujung sakit hati.
Kopi ku telah dingin, masa iya ku seruput lagi? Semut zaman
sekarang memangnya suka kopi ya? (Dalam hati ku bertanya) lantas kenapa kopi
pahitku dikerumunin banyak semut? Sepikirku tak ada sebutir gulapun yang ku
masukan di dalamnya. Ah sudahlah, mungkin semut juga ingin mengecap pahitnya
dunia ini.
Rasanya badan ini semua remuk dengan aktifitas semalam,
begadang yang tiada ujung pangkalnya, rutinitas yang sungguh terasa
membosankan. Selalu saja ada kata penyesalan di pagi hari tapi malah diulangi lagi di
malam berikutnya, begitu dan begitu saja perjalanan hidup ini.
Disuatu pagi yang lain, aku pernah bangun dan menyalakan
kompor, memanaskan air dan membuat secangkir kopi, namun kau tak ada di sana,
tak menjadi saksi betapa mesranya aku bercanda dengan kopi pagiku, mengecup
bibir cangkirnya perlahan-lahan, menyeruputnya dengan gairah dan hasrat yang
menggelora. Kamupun tak pernah tau kalau ada kenikmatan yang tak bisa
terjelaskan di meja tempat ku letakan kopi pagiku itu, dikala sebatang rokok ku
nyalakan dan ku hisap racun tembakaunya. Aku juga pernah terbaring lesuh,
lunglai dan linglung dan tanpamu, pagi itu begitu memiluhkan dan menyayat hati,
tapi alampun berbahasa, menyapaku lewat kicauan burung yang merdu, yang selalu
setia pada pagi, dan tak pernah beringkar janji pada sang fajar. Akupun berusaha
kuat menghadapi hidup dengan kesendirian ini. Bagiku, tak ada masalah jika
tanpa dirimu, entah dimana dirimu saat ini, aku terbaring diatas paku dan
pecahan beling yang kau sisahkan di atas ranjang, begitu sakit dan menikamku.
Apa bedanya tidur di atas pecahan beling dan paku bila tanpa mu? Ku rasa sama
saja, sama perihnya.
Pikiran ku seperti tanaman ubi jalar yang menjalar dan
bernalar, merambat kemana-mana seperti ular. Untuk siapa lagi ku lantunkan
sajak luhur ini selain pada sunyi? Atau biru langit dan dedaunan yang
berjatuhan di awal November? Untuk apa kesunyian mengikutiku? Kenapa daun di
akhir musim harus bergugguran? Apakah dia juga lelah menggantung seperti
harapan yang diberikan oleh hujan? Gugur, jatuh dan pupus di tanah kering.
Untuk apa langit biru menjadi kelabu? Begitu mengharu biru
bak kondisi yang ku alami sekarang ini. Malam berganti dengan cepat dan siang
pun demikian, dingin berganti panas secapat saat kau pergi dari hidupku. Ah,
masih banyak hal yang mengganjal dan belum terselesaikan dalam pikiranku ini,
hati masih belom bisa berdamai dengan kenyataan hidup.
Kali ini aku ingin sedikit berkisah tentang kecewa. Tak ada
seorangpun yang pernah luput dari rasa kecewa, sebagian orang bahkan sudah tak
meneteskan air matanya atau bahkan air matanya sudah mengering seperti sungai
yang kering dimusim kemarau yang berkepanjangan dan tak berunjung. Kalau saja
boleh ku ibaratkan kisahku seperti dalam dunia kuliah, saya sudah lulus dengan
predikat cum laude dari semuanya ini.
Pedih dan getir memang rasa kecewa ini.
Bila mana malam tiba dan bulan mulai perlahan merayap di
langit timur, aku seperti terbius oleh perasaan ini. Aku bahkan seperti
kehabisan udara, yang membuatku susah bernafas dan sesak menghimpit di dadah
dan darah mengalirkan kenangan-kenangan pahit itu lewat denyut nadi yang
berdebar tak karuan di jantungku. Kenyataan ini begitu pahit bahkan lebih dari
empedu.
Dalam kesunyian malam ku caritakan kisahku pada langit yang
tak berbintang, aku ingin pergi dan mengembara jauh menghapus rasa kecewa yang
kau telah sisahkan padaku, rasanya aku seperi terperangkap dalam jeratan yang
membuatku menjerit. Semakin ku coba lupakan janji manismu, semakin tak kuasa ku
kontrol emosi jiwa ini. Luka ini seperti luka segar yang kau siram perasan
jeruk nipis, perih dan tak bisa lagi ku jelaskan sakitnya.
Dulu kita sering bersama, bertukar kisah kasih, suka maupun
duka, berbagi canda tawa di meja saat kita letakan kopi kita di sana dan
bercerita seakan-akan kita melumpuhkan waktu bersama, namun sekarang semuanya
tinggal cerita belaka.
Kata orang biarlah waktu yang menyembukan luka, tapi entah
sampai kapan aku bisa sembuh dari sakit yang kau tinggalkan ini. "Orang
yang paling kau sayangi adalah orang yang paling bisa membuatmu kecewa",
ya! begitulah kata orang. Benar juga dengan perkataan mereka.
Di malam berikutnya aku ingin tidur lebih awal, mengindari
konflik hati yang terus berperang di batin, melawan semua kenangan bersamamu
dan berharap terbangun dari tidur dalam keadaan lupa ingatan.
Dulu phone cell ku pernah rusak karena terlalu banyak file
yang ku simpan, sebagian data mungkin penting namun sebagiannya hanya koleksi
lagu dan foto yang belom tentu ku putar dan ku lihat setiap hari, atau boleh
dikatakan tak begitu penting namun sayang sekali bila harus ku hapus semuanya.
Rasa penyesalan ku seperti demikian, kalau saja dulu ku tak terlalu serius
dalam hubungan, mungkin tak pernah ada kerusakan di pikiranku, tapi aku
bukanlah orang seperti itu, yang tak menghargai hubungan kita, lantas, dimana
lagi harus ku format semua memory yang pernah ku alami bersamamu? Saat melewati
lorong-lorong gelap tak berpenguni, menyusuri senja hingga menghabiskansecakir
cangkir kopi. Kopi yang ku seruput hanya tersisah ampasnya saja yang belom
sempat ku buang, yang terus simpan hingga akhirnya menggunung di hati, dan
sewaktu-waktu bisa meletus memuntahkan lahar pahitnya.
Aku mungkin terbatas dengan kata-kata untuk menyelaskan
semua yang telah kita lalui bersama tapi percayalah, aku tak pernah membencimu,
bahkan dari dasar hati yang masih tertimbun ampas kopi ini ku harus akui bahwa
sepahit apapun yang ku alami sekarang bila mana hati kita dulunya telah menjadi
satu, sebagiannya telah ku lalui dengan luka, seperti duri yang terlindung
dalam daging, terlihat utuh dari luar namun begerjolak dan teruk menusuk dari
dalam, sungguh menyiksa.
Bayangkan saja kalau cermin kau pecahkan, lalu kau coba tuk
memperbaikinya hanya ada bekas yang retak atau mungkin pohon yang kau tancapkan
paku bertubi-tubi lalu mencabutnya, hanya bekas luka saja yang kau temui.
Aku juga yakin kalau setelah kepergianmu, kamu juga
merasakan serupa dengan apa yang kurasakan, karena keberadaan kita sudah tak
utuh lagi. Mungkin kamu gengsi untuk mengungkapkannya atau bertegur sapa lagi
denganku, tapi percayalah kalau aku lebih tau dirimu yang sebenarnya. Jangan
pernah kau membohongi dirimu, semoga kelak kau bertemu dengan seseorang yang
akan membantumu, mambalut luka batinmu. Namun, untuk saat ini biarkan ku pergi
jauh dan jangan tanyakan kemana perginya, aku pergi untuk menyembuhkan luka
batinku sendiri atas semua rasa kecewa yang telah kau berikan padaku.
Dalem dalem :x
BalasHapus