Rabu, 04 November 2015

Biar Saja, Abaikan Saja






     Ketika harapan tak sesuai dengan kenyataan lagi, adakah sedikit harapan yang mungkin saja muncul seperti tunas-tunas daun muda yang hijau di awal bulan November?
Jalan ini begitu panjang, kau pergi jauh dan berpaling dariku sementara aku ingin pulang karena tak sanggup lagi menunggu di ujung jalan dengan buncahan rindu yang kian menggunung. Sungguh! Kita sudah tak sehaluan lagi.

     Lalu di ujung langit sana ada mentari yang baru saja pamit pulang pada langit sore, perlahan memasuki porosnya, menyisahkan kilauan jingga yang begitu sedap dipandang, tapi apalah daya kalau hati sudah mati rasa? Sudah tak bisa menikmatinya lagi, semuanya sudah tak seperti dulu lagi.
Mungkin bila di lain waktu nanti, dikala hujan mulai menangis, membanjiri bumi dengan ganasnya, akan ku luapkan keluh kesah hati yang begitu getir ini pada petir.

     Sehari bertemu, berpisah berbulan-bulan, belom sempat ku sampaikan maksud hati padamu tapi waktu begitu singkat seperti sambaran kilat yang menyala-nyala dan tak bisa ditangkap oleh genggaman, dan lagi kesiapan hati ini masih belom begitu mantap.

     Walau kita tak lagi bersama namun aku masih punya hari kemarin yang bisa untuk dikenang, meskipun kau sudah tak lagi ada dalam genggaman, tak masalah. Setidaknya kau pernah mencerahkan sebagian hariku, meskipun justru banyak kelabu yang kau letakan di langit hatiku.

     Nanti bila kita bertemu lagi di lain hari, tak akan ku ceritakan lagi apa yang telah ku alami, percuma saja mengadu padamu, sudah tak sama lagi. Biarlah kau sendiri saja yang menerka-nerka maksud hatiku, dan bila kau ingin mendengar ceritaku, hidangkanlah kopi di tempat biasanya kita saling beradu argumen sambil mengadu satu sama lain, yang membuat canda dan gelak tawa bersatu padu.

     Aku, orang yang pernah kau abaikan ini, yang dengan lapang dada menerima kenyataan ini, meskipun lebih pahit dari kopi yang tanpa gula sekalipun, akan ku lakoni drama hidup ini dengan peran terbaiku, meskipun tampaknya sulit untuk bernafas. Inilah hidup yang sebenarya, menutupi luka dengan balutan yang indah dan berakting seolah-olah tak pernah ada yang terjadi.

     Terkadang, ingin ku akhiri saja semua ini, tapi rasanya dunia ini tak adil bila harus ku rasakan sendiri sakitnya merindukanmu, namun burung-burung malam di luar sana menyengir dan menyeringgai padaku seperti tak sepakat dengan keputusanku tuk akhiri sinetron hidup ini, lantas mereka berbisik pada desiran angin malam dan hujan yang baru mulai merintih, menuntutku agar membalas semua yang telah kau lakukan padaku, namun otakku masih sangat jenius untuk memilih dan memilah sekiranya apa yang akan ku perbuat, kemudian lahirlah ide yang selama ini telahku kandung berbulan-bulan, untuk tetap tersenyum dan mengabaikannya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar