Minggu, 24 Januari 2016

Catatan Hari Kemarin






Selama ini kita masih selalu bertukar senyum, saling menceritakan masalah kita masing-masing,  menasehati satu sama lain, memberi semangat di saat yang lain sedang putus asa, berdebat dengan hal-hal sepele, saling merindukan malam tak berbintang, bertukar sapa dikala hujan mulai membasahi atap rumah, menyeruput kopi berdua di seberang jalan sana, namun apalah arti semuanya ini?

Waktu silih berganti, musim hujan berganti musim kemarau, tahunpun berlalu, namun tanpa sadar kalau sudah hampir dua tahun kita saling mengenal satu sama lain. Tapi apa yang sudah kita jalani selama ini seakan lebih dari itu. Memahami, mencintai, mengkhianati, berprasangka, menduakan, dan bahkan meninggalkan satu sama lain.

Ternyata, selama ini kita hanya bersama, bukan bersatu.

Memang, dalam banyak hal kita selalu bersatu, mulai dari hobi kita, lagu kesukaan kita, dan lain sebagainya, tapi cara pandang kita tetap saja tak bisa dikawinkan. Tetap saja tak pernah cocok. Selain perbedaan itu bagus, hal ini pula yang mungkin saja menjadi indikator kita tak sejalan lagi. Kita seperti dipisahkan ombak dan badai di samudra pasifik, yang sama-sama dihanyutkan ke tempat terjauh, yang sulit dijangkau akal. Walau akhirnya kita tak bersatu lagi, setidaknya kita pernah bersama, karena bersama tak harus bersatu.

Aku menyadari dengan sungguh kalau mungkin saja aku yang terlampau egois, tapi coba tanyakan juga dirimu, pernahkan kau sedikit kau berpikir tentang perasaanku padamu?

Terkadang aku suka berdiam diri, pergi jauh meninggalkan keramaian. Mungkin menurutmu aku adalah tipe orang yang introvert, yang begitu beku dan tertutup. Tak masalah, karena itulah diriku apa adanya. Aku memang tak suka terlalu terbuka, apalagi harus berbagi cerita yang sifatnya terlalu rahasia dan sensitif, mungkin kau berpikir kalau aku tak menganggapmu ada di sisimu sebagai seorang sahabat, yang bisa berbagi keluh-kesah. Tapi aku adalah orang yang kuat di sini lain, yang perlu kau tau adalah bahwa aku tak ingin menambah beban hidup kepada orang lain, apalagi kalau harus berbagi cerita yang membuatmu merasa ibah atau kasian atau bahkan langsung membenciku dengan perlahan. Aku bisa mengatasinya sendiri dengan caraku, tanpa harus merepotkanmu.

Percayalah, bahwa ada segelintir masalah dalam hidup yang tak bisa kita pahami, aku tak bisa menjelaskan padamu dan bahkan tak membutuhkanmu untuk turut serta mencampuri urusanku, bukan karena aku egois, tapi ini adalah prinsip hidupku. Selain egois dan gengsi, ada rasa yang lebih besar dalam hatiku yang tak pernah kau tau, bahkan mengalahkan rasa cinta, yaitu rasa takut kehilanganmu.

Tapi permasalahan hati ini begitu rumit, kadang hati perperang dengan logika. Aku sendiripun kadang tak yakin dengan keputusanku, bagaimana mungkin aku harus melibatkanmu dalam ketidakpastian seperti ini? Harusnya bisa kujelaskan ini semua padamu, tapi aku tak mau berdebat terlalu jauh dan dalam mengenai semua ini denganmu. Biarlah saja kuselesaikan sendiri perkara hatiku ini.


Written by @oldryronald 

Kamis, 14 Januari 2016

Pupus





Teruntuk sesorang yang pernah singgah di hatiku
Yang dulunya sempat mengisi kekosongan dalam hati ini
Yang rasa cintanya masih mengalir dalam darah
Rasanya masih belum bisa percaya, 
apalagi menerima kenyataan ini
Masih belum bisa kujelaskan mengapa semua 
pada akhirnya jadi kan jadi seperti ini
Malam telah lebih dulu mendahului, 
menutup indahnya jingga senja yang berkilau begitu indah
Tampaknya, kisah kita sampai di sini, 
cerita kita telah usai, tamat.


Dulu, jangankan berucap kata pisah
Menduakanmu saja sangatlah mustahil bagiku
Bahkan tak pernah terlintas sedikitpun 
di dalam benakku untuk lari jauh darimu
Sekarang, semua hanya sebatas debu yang tertiup angin
Terbang, hilang entah kemana tanpa ucapan permisi
Begitu singkat bak sambaran petir dimusim hujan,
Akupun tak menyadarinya, ternyata telah selesai.


Lalu mana janji yang pernah kita ikrarkan bersama?
Saat kita masih sepaham, sepemikiran
Saat kita masih senyawa dan sejiwa seperti dulu
Sirnah sudah semuanya, musnah!
Dimatamu, aku seperti orang yang tak kau kenal lagi
Dan kaupun lambat-laun seperti demikian dimataku
Apakah semua ini karena jarak?
Atau karena intensitas pertemuan yang begitu singkat?
Entahlah, akupun tak tau dari mana harus menjelaskannya


Dulu kau pernah berkata
Kita berdua sama-sama keras kepala, ideologi kita berbeda
Aku akui kalau kenyataan kita memang seperti itu
Lalu dalam diam kuseruput kopiku yang terakhir
Namun ternyata yang tersisa hanyalah gelas kosong
Tersisa penyesalan pahit yang menggumpal di dasar cangkir
Semua yang pahit sudah kuteguk lebih dulu, 
telah kutelan getir pahitnya sendiri
Hatiku begitu ngilu dan pilu
Bila harus kukenang kembali semua yang sudah terjadi
Kisah kita sudah berlalu


Hanya tersisa penyesalan yang medalam
Dari sekian penyesalan yang sedang kusesalkan,
Adalah kenapa harus ada sebuah pertemuan?
Saat itu aku begitu mabuk, 
tak sanggup bagiku untuk menahan diri
Mengontrol setiap emosi saat kau menyepaku, 
membuka sebuah obrolan, basa-basi yang biasa saja
Harusnya, bisa pagi tiba...
Saat kutersadar dari mabuk beratku
Bisa kulupakan semua kejadian semalam.
Namun, kita telah terlanjur saling bertukar senyum
Serta melanjutkan drama yang akhirnya jadi begini


Kalau saja bisa kusudahi semua ini dari dulu
Tapi, aku seperti tak punya kekuatan 
untuk pergi menjauh darimu
Siang berganti malam, malam kembali menjadi siang,
ku selalu memikirkanmu
Pernahkan kau tau isi hatiku?
Apa yang kupikirkan tentangmu?
Tanyakan saja sama rasa egoismu
Yang begitu sombong dan tak mau tau


Roda kehidupan ini kian berputar
Para pengendara di jalan raya sana juga 
seakan sudah tak paham akan rambu-rambu lalu lintas lagi
Mereka seenaknya menabrak jalur yang bukan jalur mereka
Hanya dengan alasan mengejar waktu dan ingin cepat sampai tujuan
Mungkin kisah kita juga serupa
Kau kesini, aku kesana
Kau berbalik, aku pergi
Seakan tak pernah ada titik temu yang pasti antara kita
Kita seperti sama-sama kehilangan kendali
Sama-sama tak punya arah dan tujuan
Bahkan tersesat karena sifat egois kita masing-masing


Saat ini, bila memang kau memilih jalur yang benar
Ku doakan kau kan baik-baik saja
Aku juga ingin pergi jauh
Mengubur kenangan yang pernah kita lalui bersama 
di atas bukit sana
Namun, bila suatu saat kau ingat padaku,
Saat kau berjalan dan kehilangan arah
Tak usah mencari jalan pulang
Tak usah kau mencariku lagi
Hatiku tak punya alamat yang pasti
Aku adalah seorang pengembara
Yang terus berkelana, mengembara di hutan belantara
Yang sudah tak mungkin kau pahami lagi


Apa yang sudah berlalu, biarkan saja seperti itu
Aku diam bukan berarti butuh ketenangan
Tapi, yang akan kau temui hanya ketidakpedulian
Telah kuuji kesetiaanmu, 
tapi ternyata kau bukan orang yang kucari
Mungkin dengan begini, 
kita akan sama-sama bahagia
Melihatmu bahagia bersama orang lain, 
di tempat yang lain sudah cukup buatku bahagia
Biarlah semua yang berlalu, 
seakan menjadi rahasia kisah kita berdua.





Yogyakarta, 12 Januari 2016


@oldryronald